Pages

Metode Tachymetri

Pengukuran Titik-titik Detail Metode Tachymetri

12. 1. Tujuan pengukuran titiktitik detail metode tachymetri

Untuk keperluan pengukuran dan pemetaan selain pengukuran kerangka dasar vertikal yang menghasilkan tinggi titik-titik ikat dan pengukuran kerangka dasar horizontal yang menghasilkan koordinat titik-titik ikat juga perlu dilakukan pengukuran titik-titik detail untuk menghasilkan titik-titik detail yang tersebar di permukaan bumi yang menggambarkan situasi daerah pengukuran. Pengukuran titik-titik detail dilakukan sesudah pengukuran kerangka dasar vertikal dan pengukuran kerangka dasar horizontal dilakukan. Pengukuran titik-titik
detail mempunyai orde ketelitian lebih rendah dibandingkan orde pengukuran kerangka dasar.
Pengukuran titik-titik detail dengan metode tachymetri pada dasarnya dilakukan dengan menggunakan peralatan dengan teknologi lensa optis dan elektronis digital. Dalam pengukuran titik-titik detail pada prinsipnya adalah menentukan koordinat dan tinggi titik –titik detail dari titik-titik ikat. Pengukuran titik-titik detail pada dasarnya dapat dilakukan dengan 2 metode, yaitu offset dan tachymetri.
Metode offset menggunakan peralatan sederhana, seperti pita ukur, jalon, meja ukur, mistar, busur derajat, dan lain sebagainya. Metode tachymetri menggunakan peralatan dengan teknologi lensa optis dan elektronis digital. Pengukuran metode tachymetri mempunyai keunggulan dalam hal ketepatan dan kecepatan dibandingkan metode offset. Pengukuran tiitk-titik detail metode tachymetri ini relatif cepat dan mudah karena yang diperoleh dari lapangan adalah pembacaan rambu, sudut horizontal (azimuth magnetis), sudut vertikal (zenith atau inklinasi) dan tinggi alat. Hasil yang diperoleh dari pengukuran tachymetri adalah posisi planimetris X, Y, dan ketinggian Z.

12.1.1 Sejarah Tachymetri

“Metode Stadia” yang disebut “Tachymetri” di Eropa, adalah cara yang cepat dan efisien dalam mengukur jarak yang cukup teliti untuk sipat datar trigonometri, beberapa poligon dan penentuan lokasi detail-detail fotografi. Lebih lanjut, di dalam metode ini cukup dibentuk regu 2 atau 3 orang, sedangkan pada pengukuran dengan transit dan pita biasanya diperlukan
3 atau 4 orang.
Stadia berasal dari kata Yunani untuk satuan panjang yang asal-mulanya 
12. 1. Tujuan pengukuran titiktitik detail metode tachymetri
diterapkan dalam pengukuran jarak-jarak untuk pertandingan atletik – dari sinilah muncul kata “stadium (stadio) ” dalam pengertian modern. Kata ini menyatakan 600 satuan Yunani (sama dengan “feet”), atau 606 ft 9 in dalam ketentuan Amerika sekarang.
Istilah stadia sekarang dipakai untuk benang silang dan rambu yang dipakai dalam pengukuran, maupun metodenya sendiri. Pembacaan optis (stadia) dapat dilakukan dengan transit, theodolite, alidade dan alat sipat datar.
Peralatan stasiun kota yang baru, menggabungkan theodolite, EDM, dan kemampuan mencatat-menghitung hingga reduksi jarak lereng secara otomatis dan sudut vertikal. Yang dihasilkan adalah pembacaan jarak horizontal dan selisih elevasi, bahkan koordinat. Jadi peralatan baru tadi dapat memperkecil regu lapangan dan mengambil alih banyak proyek tachymetri. Namun demikian, prinsip pengukuran tachymetri dan metodenya memberikan konsepsi-konsepsi dasar dan sangat mungkin dipakai terus menerus.
12.1.2 Pengenalan Tachymetri
Pengukuran titik-titik detail dengan metode Tachymetri ini adalah cara yang paling banyak digunakan dalam praktek, terutama untuk pemetaan daerah yang luas dan untuk detail-detail yang bentuknya tidak beraturan. Untuk dapat memetakan dengan cara ini diperlukan alat yang dapat mengukur arah dan sekaligus mengukur jarak, yaitu Teodolite Kompas atau BTM (Boussole Tranche Montage). Pada alatalat tersebut arah-arah garis di lapangan diukur dengan jarum kompas sedangkan untuk jarak digunakan benang silang diafragma pengukur jarak yang terdapat pada teropongnya. Salah satu theodolite kompas yang banyak digunakan misalnya theodolite WILD TO.
Tergantung dengan jaraknya, dengan cara ini titik-titik detail dapat diukur dari titik kerangka dasar atau dari titik-titik penolong yang diikatkan pada titik kerangka dasar.
12.1.3 Pengukuran tachymetri untuk titik bidik horizontal
Selain benang silang tengah, diafragma transit atau theodolite untuk tachymetri mempunyai dua benang horizontal tambahan yang ditempatkan sama jauh dari tengah (gambar 22). Interval antara benang 
– benang stadia itu pada kebanyakan instrumen memberikan perpotongan vertikal 1 ft pada rambu yang dipasang sejauh 100 ft ( 1 m pada jarak 100 m ). Jadi jarak ke rambu yang dibagi secara desimal dalam feet, persepuluhan dan perseratusan dapat langsung dibaca sampai foot terdekat. Ini sudah cukup seksama untuk menentukan detail-detail fotografi, seperti; sungai, jembatan, dan jalan yang akan digambar pada peta dengan skala lebih kecil daripada
1 in = 100 ft, dan kadang-kadang untuk skala lebih besar misalnya; 1 in = 50 ft.
Metode tachymetri didasarkan pada prinsip bahwa pada segitiga-segitiga sebangun, sisi yang sepihak adalah sebanding. Pada gambar 321, yang menggambarkan teropong pumpunan-luar, berkas sinar dari titik A dan B melewati pusat lensa membentuk sepasang segitiga sebangun AmB dan amb. Dimana ; AB = R adalah perpotongan rambu (internal stadia) dan ab
adalah selang antara benang-benang stadia.
Simbol-simbol baku yang dipakai dalam pengukuran tachymetri :
f = jarak pumpun lensa (sebuah tatapan untuk gabungan lensa objektif tertentu). Dapat ditentukan dengan pumpunan pada objek yang jauh dan mengukur jarak antara pusat lensa objektif (sebenarnya adalah titik simpul dengan diafragma), (jarak pumpun = focal length).
f1 = jarak bayangan atau jarak dari pusat (titik simpul) lensa obyektif ke bidang benang silang sewaktu teropong terpumpun pada suatu titik tertentu.
F2 = jarak obyek atau jarak dari pusat (titik simpul) dengan titik tertentu sewaktu teropong terpumpun pada suatu titik itu. Bila f2 tak terhingga atau amat besar, maka f1 = f.
i. = selang antara benang – benang Stadia.
f/i .= faktor penggali, biasanya 100 (stadia interval factor).
c = jarak dari pusat instrumen (sumbu I) ke pusat lensa obyektif. Harga c sedikit beragam sewaktu lensa obyektif bergerak masuk atau keluar untuk pembidikan berbeda, tetapi biasa dianggap tetapan.
C = c + f. C disebut tetapan stadia, walaupun sedikit berubah karena c d. = jarak dari titik pumpun di depan teropong ke rambu.
D = C + d = jarak dari pusat instrumen ke permukaan rambu Benang-benang silang jarak optis tetap pada transit, theodolite, alat sipat datar dan dengan cermat diatur letaknya oleh pabrik instrumennya agar faktor pengali f/i. Sama dengan 100. Tetapan stadia C berkisar dari kira-kira 0,75 sampai 1,25 ft untuk teropongteropong pumpunan luar yang berbeda,
tetapi biasanya dianggap sama dengan 1 ft.
Satu-satunya variabel di ruas kanan persamaan adalah R yaitu perpotongan R adalah 4,27 ft, jarak dari instrumen ke rambu adalah 427 + 1 = 428 ft. Yang telah dijelaskan adalah teropong pumpunan luar jenis lama, karena dengan gambar sederhana dapat ditunjukkan hubungan-hubungan yang benar. Lensa obyektif teropong pumpunan dalam (jenis yang dipakai sekarang pada instrumen ukur tanah) mempunyai kedudukan terpasang tetap sedangkan lensa pumpunan negatif dapat digerakkan antara lensa obyektif dan bidang benang silang untuk mengubah arah berkas sinar. Hasilnya, tetapan stadia menjadi demikian kecil sehingga dapat dianggap nol.
Benang stadia yang menghilang dulu dipakai pada beberapa instrumen lama untuk menghindari kekacauan dengan benang tengah horizontal. Diafragma dari kaca yang modern dibuat dengan garisgaris stadia pendek dan benang tenaga yang penuh (gambar 2) memberikan hasil yang sama secara lebih berhasil guna. Faktor pengali harus ditentukan pada pertama kali instrumen yang dipakai, walaupun harga tepatnya dari pabrik yang ditempel di sebelah dalam kotak pembawa tak akan berubah kecuali benang silang, diafragma, atau lensa-lensa diganti atau diatur pada model-model lama. Untuk menentukan faktor pengali, perpotongan rambu R dibaca untuk bidikan horizontal berjarak diketahui sebesar D.
Kemudian, pada bentuk lain persamaan faktor pengali adalah f/i.= (D-C)/R.
Sebagai contoh:
Pada jarak 300,0 ft interval rambu terbaca 3,01. Harga-harga untuk f dan c terukur sebesar 0,65 dan 0,45 ft berturut-turut;
karenanya, C =1,1 ft. Kemudian f/i. = (300,0
–1,1)/3,01 = 99,3. Ketelitian dalam menentukan f/i. Meningkat dengan mengambil harga pukul rata dari beberapa garis yang jarak terukurnya berkisar dari
􀁲 100–500 ft dengan kenaikan tiap kali 100 ft.
12.1.4 Pengukuran tachymetri untuk bidikan miring Kebanyakan pengukuran tachymetri adalah dengan garis bidik miring karena adanya keragaman topografi, tetapi perpotongan benang stadia dibaca pada rambu tegak lurus dan jarak miring direduksi menjadi jarak horizontal dan jarak vertikal. Pada gambar, sebuah transit dipasang pada suatu titik dan rambu dipegang pada titik tertentu. Dengan benang silang tengah dibidikkan pada rambu ukur sehingga tinggi t sama dengan tinggi theodolite ke tanah. sudut vertikalnya (sudut kemiringan) terbaca sebesar
􀁄. Perhatikan bahwa dalam pekerjaan tachymetri tinggi instrumen adalah tinggi garis bidik diukur dari titik yang diduduki (bukan TI, tinggi di atas datum seperti dalam sipat datar) m = sudut miring.
Beda tinggi = D HAB = 50 ´ (BA – BB) .
sin 2m + i – t; t = BT
Jarak datar = dAB = 100´(BA – BB) cos2m
Tabel-tabel, diagram, mistar hitung khusus, dan kalkulator elektronik telah dipakai oleh para juru ukur untuk memperoleh penyelesaiannya. Dalam Apendiks E memuat jarak-jarak horizontal dan vertikal untuk perpotongan rambu 1 ft dan sudutsudut vertikal dari 0 sampai 16􀁱, 74􀁱 sampai 90􀁱, dan 90􀁱 sampai 106􀁱 untuk pembacaan-pembacaan dari zenit).
Sebuah tabel tak dikenal harus selalu diselidiki dengan memasukkan harga-harga di dalamnya yang akan memberikan hasil yang telah diketahui. Sebagai contoh; sudutsudut 1, 10 dan 15􀁱 dapat dipakai untuk mengecek hasil-hasil memakai tabel. Misalnya sebuah sudut vertikal 15􀁱00’ (sudut zenit 75􀁱), perpotongan rambu 1,00 ft dan tetapan stadia 1ft, diperoleh hasil-hasil sebagai berikut.
Dari tabel E-1:
H = 93,30 x 1,00 +1 = 94,3 atau 94 ft
Contoh :
untuk sudut sebesar 4􀁱16’, elevasi M adalah 268,2 ft ; t.i. = EM = 5,6; perpotongan rambu AB = R = 5,28 ft; sudut vertikal a ke titik D 5,6 ft pada rambu adalah +4􀁱16’; dan C = 1
ft. Hitunglah jarak H, beda elevasi V dan elevasi titik O.
Penyelesaian :
Untuk sudut 14􀁱16’(sudut zenith 85􀁱44’) dan perpotongan rambu 1 ft, jarak-jarak
horizontal dan vertikal berturut-turut adalah 99,45 dan 7,42 ft. Selanjutnya…
H = (99,45 x 5,28) + 1 = 526 ft
V =(7,42 x 5,28)-0,08 =39,18+0,08 = 39,3 ft
Elevasi titik O adalah
Elevasi O = 268,2 + 5,6 + 39,3 – 5,6 = 307,5 ft
Rumus lengkap untuk menentukan selisih elevasi antara M dan O adalah Elevo- elevM = t.i. + V – pembacaan rambu
Keuntungan bidikan dengan pembacaan sebesar t.i agar terbaca sudut vertikal, sudah jelas. Karena pembacaan rambu dan t.i berlawanan tanda, bila harga mutlaknya sama akan saling menghilangkan dan dapat dihapuskan dari hitungan elevasi. Jika t.i tak dapat terlihat karena terhalang, sembarang pembacaan rambu dapat dibidik dan persamaan sebelumnya dapat dipakai. Memasang benang silang tengah pada tanda satu foot penuh sedikit di atas atau di bawah t.i menyederhanakan hitungannya. Penentuan beda elevasi dengan tachymetri dapat dibandingkan dengan sipat datar memanjang t.i. sesuai bidikan plus, dan pembacaan rambu sesuai bidikan minus. Padanya ditindihkan sebuah jarak vertikal yang dapat plus atau minus, tandanya tergantung pada sudut kemiringan. Pada bidikan-bidikan penting ke arah titik-titik dan patok-patok kontrol, galat-galat instrumental akan dikurangi dengan prosedur lapangan yang baik menggunakan prinsip timbal balik yaitu, membaca sudut–sudut vertikal dengan kedudukan teropong biasa dan luar biasa.
Pembacaan langsung pada rambu dengan garis bidik horizontal (seperti pada sipat datar), bukan sudut vertikal, dikerjakan bila keadaan memungkinkan untuk menyederhanakan reduksi catatan-catatan.
Tinjauan pada suatu tabel menunjukkan bahwa untuk sudut-sudut vertikal di bawah kira-kira 4􀁱, selisih antara jarak mirng dan jarak horizontal dapat diabaikan kecuali pada bidikan jauh (dimana galat pembacaan jarak juga lebih besar).
Dengan demikian teropong boleh miring beberapa derajat untuk pembacaan jarak optis setelah membuat bidikan depan yang datar untuk memperoleh sudut vertikal.
12.1.5 Rambu tachymetri
Berbagai jenis tanda dipakai pada rambu tachymetri tetapi semua mempunyai bentukbentuk geometrik yang menyolok dirancang agar jelas pada jarak jauh. Kebanyakan rambu tachymetri telah dibagi menjadi feet dan persepuluhan (perseratusan diperoleh dengan interpolasi), tetapi pembagian skala sistem metrik sedang menjadi makin umum. Warna-warna berbeda membantu membedakan angka-angka dan pembagian skala.
Rambu-rambu tachymetri biasa berbentuk satu batang, lipatan atau potonganpotongan dengan panjang 10 atau 12 ft.
kalau dibuat lebih panjang dapat meningkatkan jarak bidik tetapi makin berat dan sulit ditangani. Seringkali bagian bawah satu atau dua dari rambu 12 ft akan terhalang oleh rumput atau semak, tinggal sepanjang hanya 10 ft yang kelihatan. Panjang bidikan maksimum dengan demikian adalah kira-kira 1000 ft. Pada bidikan yang lebih jauh, setengah interval (perpotongan antara benang tengan dengan benang stadia atas atau bawah) dapat dibaca dan dilipatgandakan untuk dipakai dalam persamaan reduksi tachymetri yang baku. Bila ada benang perempatan antara benang tengah dengan benang stadia atas, secara teoritis dapat ditaksir jarak sejauh hampir 4000 ft. Pada bidikan pendek, mungkin sampai 200 ft,
rambu sipat datar biasa seperti jenis philania sudah cukup memuaskan.
12.1.6 Busur Beaman
Busur beaman adalah sebuah alat yang ditempatkan pada beberapa transit dan alidade untuk memudahkan hitunganhitungan tachymetri. Alat ini dapat
merupakan bagian dari lingkaran vertikal atau sebuah piringan tersendiri. Skala-skala H dan V busur itu dibagi dalam persen. Skala V menunjukkan selisih elevasi tiap 100 f jarak lereng, sedangakn skala H  memberikan koreksi tiap 100 ft untuk dikurangkan dari jarak tachymetri. Karena V berbanding lurus dengan ½ sin 2􀁄 dan koreksi untuk H tergantung pada sin2 􀁄,
selang-selang pembagian skala makin rapat bila sudut vertikal meningkat. Oleh karena itu nonius tidak dapat dipakai disini, dan pembacaan tepat hanya dapat dilakukan dengan memasang busur pada pembacaan angka bulat.
Penunjuk skala V (indeks) terpasang agar terbaca 50 (mungkin 30 atau 100 pada beberapa instrumen) bila teropong horizontal untuk menghindari harga-harga minus. Pembacaan lebih besar dari pada 50 diperoleh untuk bidikan-bidikan di atas horizon, lebih kecil dari 50 di bawahnya. Ilmu hitung yang diperlukan dalam pemakaian busur beaman disederhanakan dengan memasang skala V pada sebuah angka bulat dan membiarkan benang silang tengah terletak di tempat dekat t.i. Skala H Kemudian umumnya tak akan terbaca pada angka bulat dan harga-harganya harus diinterpolasi. Ini penting karena hitungannya tetap sederhana.
Elevasi sebuah titik B yang dibidik dengan transit terpasang di titik A didapat dengan rumus :
Elev B = elev A + t.i. + (pembacaan busur – 50) ( perpotongan rambu) – pembacaan rambu dengan benang tengah Instrumen-instrumen lain mempunyai busur serupa disebut lingkaran stadia dengan skala V yang sama, tetapi skala H tidak memberikan koreksi presentase melainkan sebuah pengali (multiplier)
12.1.7 Tachymetri swa-reduksi
Tachymetri swa-reduksi dan alidade telah dikembangkan dimana garis-garis lengkung stadia nampak bergerak memisah atau saling mendekat sewaktu teropong diberi elevasi atau junam. Sebenarnya garis-garis itu digoreskan pada sebuah piringan kaca yang berputar mengelilingi sebuah rambu (terletak di luar teropong) sewaktu teropong dibidikkan ke sasaran.
Pada gambar dibawah garis-garis atas dan bawah (dua garis luar) melengkung untuk menyesuaikan dengan keragaman dalam fungsi trigonometri cos2􀁄 dan dipakai untuk pengukuran jarak. Dua garis dalam menentukan selisih elevasi dan melengkung untuk menggambarkan fungsi sin 􀁄 cos 􀁄. Sebuah garis vertikal, tanda silang tengah, dan garis-garis stadia pendek merupakan tanda pada piringan gelas kedua yang terpasang tetap, terumpun serentak dengan garis-garis lengkung.
Sebuah tetapan faktor pengali 100 dipakai untuk jarak horizontal. Faktor 20, 50, atau 100 diterapkan pada pengukuran beda tinggi. Harganya tergantung pada sudut lereng dan ditunjukkan oleh garis-garis pendek ditempatkan antara kurva-kurva elevasi.
Tachymetri diagram lainnya pada dasarnya bekerja atas bekerja atas prinsip yang sama: Sudut vertikal secara otomatis dipampas oleh pisahan garis stadia yang beragam. Sebuah tachymetri swa-reduksi memakai sebuah garis horizontal tetap pada sebuah diafragma dan garis horizontal lainnya pada diafragma kedua yang dapat bergerak, yang bekerja atas dasar
perubahan sudut vertikal. Kebanyakan alidade planset memakai suatu jenis prosedur reduksi tachymetri. Sebuah rambu topo khusus yang berkaki dapat dipanjangkan dengan angka nol terpasang pada t.i. biasanya dianjurkan untuk dipakai agar instrumen tachymetri sepenuhnya swa-baca.
12.1.8 Prosedur Lapangan
Prosedur yang benar menghemat waktu dan mengurangi sejumlah kesalahan dalam semua pekerjaan ukur tanah. Prosedur ini menyebabkan pemegang instrumen dapat membuat sibuk sekaligus dua atau tiga petugas rambu di tanah terbuka di mana titik-titik yang akan ditetapkan lokasinya terpisah jauh. Urutan yang sama dapat dipakai bila menggunakan busur Beaman, tetapi pada langkah 4 skala V ditepatkan pada sebuah angka bulat, dan pada langkah 7 pembacaan-pembacaan skala-H dan skala-V dicatat. Sewaktu membaca jarak optis setelah benang bawah ditempatkan pada sebuah tanda foot bulat, benang tengah tidak tepat pada t.i. atau pembagian skala terbaca untuk sudut vertikal. Ini biasanya tidak menyebabkan galat yang berarti dalam proses reduksi kecuali pada bidikan-bidikan panjang dan sudut-sudut vertikal curam. Bila rambu tidak tegak lurus tentu saja akan menyebabkan galat-galat yang berarti dan untuk mengatasi masalah ini dipakai nivo rambu.
Urutan pembacaan yang paling sesuai untuk pekerjaan tachymetri yang melibatkan sudut vertikal adalah sebagai berikut :
a. Bagi dua rambu dengan benang vertikal.
b. Dengan benang tengah kira-kira t.i.
letakkan benang bawah pada tanda sebuah foot bulat, atau desimeter pada rambu metrik.
c. Baca benang atas, dan di luar kepala kurangkan pembacaan benang bawah untuk memperoleh perpotongan rambu, catat perpotongan rambu.
d. Gerakan benang tengah ke t.i. dengan memakai sekrup penggerak halus vertikal.
e. Perintahkan pemegang rambu untuk pindah titik ke berikutnya dengan tenggara yang benar.
f. Baca dan catatlah sudut horizontalnya.
Baca dan catatlah sudut vertikalnya.
12.1.9 Poligon Tachymetri
Dalam poligon transit-optis, jarak, sudut horizontal dan sudut vertikal diukur pada setiap titik. Reduksi catatan sewaktu pengukuran berjalan menghasilkan elevasi untuk dibawa dari patok ke patok. Harga jarak optis rata-rata dan selisih elevasi diperoleh dari bidikan depan dan belakang pada tiap garis. Pengecekan elevasi harus diadakan dengan jalan kembali ke titik awal atau tititk tetap duga didekatnya untuk poligon terbuka. Walaupun tidak seteliti poligon dengan pita, sebuah regu yang terdiri atas tiga anggota seorang pemegang instrumen, pencatat, dan petugas rambumerupakan kebiasaan. Seorang petugas rambu dapat mempercepat pekerjaan bila banyak detail tersebar luas.
Sudut-sudut horizontal juga harus dicek kesalahan penutupnya. Bila ada kesalahan penutup sudut harus diratakan, 􀀧Y dan 􀀧X dihitung dan keseksamaan poligon dicek.
12.1.10 Topografi
Metode tachymetri itu paling bermanfaat dalam penentuan lokasi sejumlah besar detail topografik, baik horizontal maupun vetikal, dengan transit atau planset. Di wilayah-wilayah perkotaan, pembacaan sudut dan jarak dapat dikerjakan lebih cepat daripada pencatatan pengukuran dan pembuatan sketsa oleh pencatat.
12.1.11 Sipat Datar Tachymetri
Metode tachymetri dapat dipakai untuk sipat datar trigonometris. TI ( tinggi instrumen di atas datum) ditentukan dengan membidik pada stasiun yang diketahui elevasinya, atau dengan memasang instrumen pada titik semacam itu dan mengukur tinggi sumbu II di atasnya dengan rambu tachymetri. Selanjutnya elevasi titik sembarang dapat dicari dengan hitungan dari perpotongan rambu dan sudut vertikal. Jika dikehendaki dapat dilakukan untai sipat datar untuk menetapkan dan mengecek elevasi dua titik atau lebih.
12.1.12 Kesaksamaan (Precision)
Sebuah perbandingan galat (ratio or error) 1/300 sampai 1/500 dapat diperoleh untuk poligon transit-optis yang dilaksanakan dengan kecermatan biasa dan pembacaan baik bidikan depan dan bidikan belakang. Ketelitian dapat lebih baik jika bidikanbidikan pendek pada poligon panjang dengan prosedur-prosedur khusus. Galatgalat dalam pekerjaan tachymetri biasanya bukan karena sudut-sudut tidak benar tetapi karena pembacaan rambu yang kurang benar. Galat 1 menit pada pembacaan rambu sebuah sudut vertikal tidak memberikan pengaruh yang berarti pada jarak horizontal. Galat 1 menit tadi menyebabkan selisih elevasi kurang dari 0,1 ft pada bidikan 300 ft untuk sudut-sudut vertikal ukuran biasa.
Bila jarak optis ditentukan sampai foot terdekat (kasus umum), sudut-sudut horizontal ke titik-titik topografi hanya perlu dibaca sampai batas 5 atau 6 menit untuk memperoleh kesaksamaan yang sebanding pada bidikan 300 ft. Jarak optis yang diberikan sampai foot terdekat dianggap benar sampai batas kira-kira ½ ft. Dengan galat jarak memanjang ½ ft itu, arahnya dapat menyimpang sebesar 5 menit (mudah dihitung dengan 1 menit = 0.00029). Bila dipakai transit Amerika, karenanya sudutsudut dapat dibaca tanpa nonius, hanya dengan mengira kedudukan penunjuk nonius.
Ketelitian sipat datar trigonometris dengan jarak optis tergantung pada panjang bidikan dan ukuran sudut vertiak yang diperlukan. 12.1.13 Sumber-sumber galat dalam pekerjaan tachymetri
Galat-galat yang terjadi pada pekerjaan dengan transit dan theodolitee, juga terjadi pada pekerjaan tachymetri.
Sumber-sumber galat adalah :
a. Galat-galat instrumental
􀁸 Benang tachymetri yang jaraknya tidak benar.
􀁸 Galat indeks.
􀁸 Pembagian skala rambu yang tidak benar.
􀁸 Garis bidik transit tidak sejajar garis arah nivo teropong.
b. Galat-galat pribadi
􀁸 Rambu tak dipegang tegak (hindari dengan pemakaian nivo rambu).
􀁸 Salah pembacaan rambu karena bidikan jauh.
􀁸 Kelalaian mendatarkan untuk pembacaan busur vertikal.
Kebanyakan galat dalam pekerjaan tachymetri dapat dihilangkan dengan:
a. Menggunakan instrumen dengan benar
b. Membatasi panjang bidikan
c. Memakai rambu dan nivo yang baik
d. Mengambil harga rata-rata pembacaan dalam arah ke depan dan ke belakang.
Galat garis bidik tidak dapat dibetulkan dengan prosedur lapangan instrumen harus diatur.
12.1.14 Kesalahan – kesalahan besar
Beberapa kesalahan yang biasa terjadi dalam pekerjaan tachymetri adalah :
a. Galat indeks diterapkan dengan tanda yang salah.
b. Kekacauan tanda plus dan minus pada sudut-sudut vertikal.
c. Kesalahan aritmetik dalam menghitung perpotongan rambu.
d. Pemakaian faktor pengali yang tidak benar.
e. Mengayunkan rambu (rambu harus selalu dipegang tegak lurus).
12.1.15 Pengukuran untuk pembuatan
peta topografi cara tachymetri Salah satu unsur penting pada peta topografi adalah unsur ketinggian yang biasanya disajikan dalam bentuk garis kontur. Menggunakan pengukuran cara
tachymetry, selain diperoleh unsur jarak, juga diperoleh beda tinggi. Bila theodolite yang digunakan untuk pengukuran cara achymetry juga dilengkapi dengan kompas, maka sekaligus bisa dilakukan pengukuran untuk pengukuran detil topografi dan pengukuran untuk pembuatan kerangka peta pembantu pada pengukuran dengan kawasan yang luas secara efektif dan
efisien.
a. Alat ukur yang digunakan pada pengukuran untuk pembuatan peta topografi cara tachimetry menggunakan theodolite berkompas adalah: theodolite berkompas lengkap dengan statif dan unting-unting, rambu ukur yang dilengkapi dengan nivo kotak dan pita ukur untuk mengukur tinggi alat. 
b. Data yang harus diamati dari tempat berdiri alat ke titik bidik menggunakan peralatan ini meliputi: azimuth magnet, benang atas, tengah dan bawah pada rambu yang berdiri di atas titik bidik, sudut miring, dan tinggi alat ukur di atas titik tempat berdiri alat. 
c. Keseluruhan data ini dicatat dalam satu buku ukur.
12.1.16 Tata cara pengukuran detail cara tachymetri menggunakan theodolite berkompas
Pengukuran detil cara tachymetri dimulai dengan penyiapan alat ukur di atas titik ikat dan penempatan rambu di titik bidik. Setelah alat siap untuk pengukuran, dimulai dengan perekaman data di tempat alat berdiri, pembidikan ke rambu ukur, pengamatan azimuth dan pencatatan data di rambu BT, BA, BB serta sudut miring m.
a. Tempatkan alat ukur di atas titik kerangka dasar atau titik kerangka penolong dan atur sehingga alat siap untuk pengukuran, ukur dan catat tinggi alat di atas titik ini.
b. Dirikan rambu di atas titik bidik dan tegakkan rambu dengan bantuan nivo kotak.
c. Arahkan teropong ke rambu ukur sehingga bayangan tegak garis diafragma berimpit dengan garis tengah rambu. Kemudian kencangkan kunci gerakan mendatar teropong.
d. Kendorkan kunci jarum magnet sehingga jarum bergerak bebas. Setelah jarum setimbang tidak bergerak, baca dan catat azimuth magnetis dari tempat alat ke titik bidik.
e. Kencangkan kunci gerakan tegak teropong, kemudian baca bacaan benang tengah, atas dan bawah serta catat dalam buku ukur. Bila memungkinkan, atur bacaan benang tengah pada rambu di titik bidik setinggi alat, sehingga beda tinggi yang diperoleh sudah merupakan beda tinggi antara titik kerangka tempat berdiri alat dan titik detil yang dibidik.
f. Titik detil yang harus diukur meliputi semua titik alam maupun buatan manusia yang mempengaruhi bentuk topografi peta daerah pengukuran.
12.1.17 Kesalahan pengukuran cara tachymetri dengan theodolite berkompas Kesalahan alat, misalnya:
1. Jarum kompas tidak benar-benar lurus
2. Jarum kompas tidak dapat bergerak bebas pada prosnya.Garis bidik tidak tegak lurus sumbu mendatar (salah kolimasi).
3. Garis skala 0° - 180° atau 180° - 0° tidak sejajar garis bidik.
4. Letak teropong eksentris.
5. Poros penyangga magnet tidak sepusat dengan skala lingkaran mendatar.
a. Kesalahan pengukur, misalnya:
1. Pengaturan alat tidak sempurna (temporary adjustment).
2. Salah taksir dalam pemacaan
3. Salah catat, dll. nya.
b. Kesalahan akibat faktor alam, misalnya:
1. Deklinasi magnet.
2. Refraksi lokal.
12.1.18 Pengukuran Tachymetri Untuk
Pembuatan Peta Topografi Cara Polar. Posisi horizontal dan vertikal titik detil diperoleh dari pengukuran cara polar langsung diikatkan ke titik kerangka dasar pemetaan atau titik (kerangka) penolong yang juga diikatkan langsung dengan cara polar ke titik kerangka dasar pemetaan.
Unsur yang diukur:
a. Azimuth magnetis titik ikat ke titik detail
b. Bacaan benang atas, tengah, dan bawah
c. Sudut miring, dan
d. Tinggi alat di atas titik ikat.
A dan B adalah titik kerangka dasar pemetaan,
H adalah titik penolong,
1, 2 ... adalah titik detil, Um adalah arah utara magnet di tempat pengukuran.
Berdasar skema pada gambar, maka:
 a. Titik 1 dan 2 diukur dan diikatkanlangsung dari titik kerangka dasar A,
b. Titik H, diukur dan diikatkan langsung dari titik kerangka dasar B,
c. Titik 3 dan 4 diukur dan diikatkan langsung dari titik penolong H.
12.1.19 Pengukuran tachymetri untuk pembuatan peta topografi cara poligon kompas.
Letak titik kerangka dasar pemetaan berjauhan, sehingga diperlukan titik penolong yang banyak. Titik-titik penolong ini diukur dengan cara poligon kompas yang titik awal dan titik akhirnya adalah titik kerangka dasar pemetaan. Unsur jarak dan beda tinggi titik-titik penolong ini diukur dengan menggunakan cara tachymetri. Posisi horizontal dan vertikal titik detil diukur dengan cara polar dari titik-titik penolong. Berdasarkan skema pada gambar, maka: 
a. Titik K1, K3, K5, K2, K4 dan K6 adalah titik-titik kerangka dasar pemetaan,
b. Titik H1, H2, H3, H4 dan H5 adalah titiktitik penolong
c. Titik a, b, c, ... adalah titik detil.
Pengukuran poligon kompas K3, H1, H2, H3, H4 , H5, K4 dilakukan untuk memperoleh posisi horizontal dan vertikal titik-titik penolong, sehingga ada dua hitungan:
a. Hitungan poligon dan
b. Hitungan beda tinggi.
12.1.20 Tata cara pengukuran poligon kompas:
a. Pengukuran koreksi Boussole di titik K3 dan K4,
b. Pengukuran cara melompat (spring station) K3, H2, H4dan K4.
c. Pada setiap titik pengukuran dilakukan pengukuran:
1. Azimuth,
2. Bacaan benang tengah, atas dan bawah,
3. Sudut miring, dan
4. Tinggi alat.
12.1.21 Tata cara hitungan dan penggambaran poligon kompas:
a. Hitung koreksi Boussole di K3 = AzG.
K31 - AzM K31
b. Hitung koreksi Boussole di K4 = AzG.
K42 - AzM K42
c. Koreksi Boussole C = Rerata koreksi boussole di K3 dan K4
d. Hitung jarak dan azimuth geografis setiap sisi poligon.
e. Hitung koordinat H1, ... H5 dengan cara BOWDITH atau TRANSIT.
f. Plot poligon berdasarkan koordinat definitif.
12.2.1 Peralatan yang dibutuhkan :
1. Pesawat Theodolite
Alat pengukur Theodolitee dapat mengukur sudut-sudut yang mendatar dan tegak. Alat pengukur sudut
theodolitee dibagi dalam 3 bagian yaitu :
a. Bagian bawah, terdiri atas tiga sekrup penyetel SK yang menyangga suatu tabung dan pelat yang berbentuk lingkaran. Pada tepi lingkaran ini dibuat skala lms yang dinamakan limbus.
b. Bagian tengah, terdiri atas suatu sumbu yang dimasukkan kedalam tabung bagian bawah. Sumbu ini sumbu tegak atau sumbu kesatu S1. Diatas sumbu S1 diletakkan lagi suatu pelat yang berbentuk lingkaran dan mempunyai jari-jari kurang dari jari-jari pelat bagian bawah. Pada dua tempat di tepi lingkaran di buat pembaca nomor yang berbentuk alat pembaca
nonius.
Diatas nonius ini ditempatkan dua kaki yang penyangga sumbu mendatar. Suatu nivo diletakkan di atas pelat nonius untuk membuat sumbu kesatu tegak lurus.
c. Bagian atas, terdiri dari sumbu mendatar atau sumbu kedua yang diletakkan diatas kaki penyangga sumbu kedua S2. Pada sumbu kedua ditempatkan suatu teropong tp yang mempunyai difragma dan dengan demikian mempunyi garis bidik gb. Pada sumbu kedua diletakkan pelat yang berbentuk lingkaran dilengkapi dengan skala lingkaran tegak ini ditempatkkan dua nonius pada kaki penyangga sumbu kedua.
Jika dilihat dari cara pengukuran dan konstruksinya, bentuk alat ukur Theodolitee di bagi dalam dua jenis, yaitu
a. Theodolitee reiterasi, yaitu jenis theodolitee yang pelat lingkaran skala mendatar dijadikan satu dengan tabung yang letaknya diatas tiga sekerup. Pelat nonius dan pelat skala mendatar dapat diletakkan menjadi satu dengan sekerup kl, sedangkan pergeseran kecil dari nonius terhadap skala lingkaran, dapat digunakan sekerup fl. Dua sekerup kl dan fl merupakan satu pasang ; sekerup fl dapat menggerakkan pelat nonius bila sekerup kl telah dikeraskan.
b. Theodolitee repetisi, yaitu jenis theodolitee yang pelatnya dengan skala lingkaran mendatar ditempatkan sedemikian rupa sehingga pelat dapat berputar sendiri dengan tabung pada
sekerup penyetel sebagai sumbu putar. Perbedaan jenis repetisi dengan reiterasi adalah jenis repetisi memiliki sekerup k2 dan f2 yang berguna pada penukuran sudut mendatar dengan cara repetisi.
3
Selain menggunakan Theodolite, pengukuran titik-titik detail metode tachymetri dapat menggunakan Topcond
12. 3. Pengolahan Data
Pengukuran Tachymetri
Data yang diambil dari lapangan semakin banyak semakin baik. Data yang diperoleh di tempat alat berdiri meliputi azimuth magnetis, sudut vertikal inklinasi (miring) atau zenith dan tinggi alat. Data yang diperoleh dari tempat berdiri rambu atau target adalah bacaan benang diafragma (benang atas, benang tengah, dan benang bawah) atau jarak langsung. Pada alat theodolite dengan fasilitas total station koordinat dan ketinggian tinggi titik-titik detail dapat langsung diperoleh dan direkam ke dalam memori penyimpanan.
Data yang diperoleh dari lapangan harus diolah untuk menghilangkan kesalahan sistematis dan acak yang terjadi serta membuang kesalahan besar yang mungkin timbul. Pengolahan data sipat datar kerangka dasar vertical dan polygon kerangka dasar horizontal dapat diolah secara manual dengan bantuan mesin hitung atau secara tabelaris menggunakan bantuan computer.

12. 4. Penggambaran hasil

pengukuran tachymetri Sebelum hasil praktek pengukuran digunakan untuk keperluan pembuatan peta (penggambaran) maka data dari lapangan diolah terlebih dahulu. Dari hasil pengukuran Tachymetri diperoleh data mentah yang harus diolah sesuai dengan metoda pengukuran yang dilakukan. Data yang telah diolah kemudian disajikan di atas kertas (2 dimensi) dalam bentuk peta yang disebut sebagai pekerjaan pemetaan yang menghasilkan informasi spasial (keruangan) berupa peta.
Penggambaran hasil pengukuran tachymetri hampir sama dengan penggambaran pengukuran sipat datar kerangka dasar vertikal dan penggambaran pengukuran poligon kerangka dasar horizontal. Informasi yang diperoleh dari pengolahan data sipat datar kerangka dasar vertical adalah tinggi definitif titik-titik ikat, sedangkan informasi yang diperoleh dari pengolahan data
kerangka dasar horizontal adalah koordinat titik-titik ikat. Titik awal dan akhir pengukuran juga diberikan sebagai kontrol vertikal dan horizontal.
Titik kontrol vertikal dan horizontal dapat diperoleh dengan cara:
a. Penentuan benchmark yang ada dari lapangan hasil pengukuran sebelumnya.
b. Hasil pengamatan diatas peta, untuk koordinat dari hasil interpolasi grid-grid peta.
Sedangkan untuk tinggi definitif diperoleh dari hasil interpolasi garis-garis kontur yang ada diatas peta. Koordinat definitif kemudian dibuat gambarnya baik secara manual maupun digital menggunakan komputer sehingga dapat diperoleh informasi luas wilayah pengukuran. Tinggi titik-titik ikat digambar pada arah memanjang sehingga dapat diperoleh turun naiknya permukaan tanah sepanjang jalur pengukuran.

Beri Penilaian